Gaharu merupakan sebuah nama komoditi hasil hutan non kayu yang pada saat ini sudah menjadi perbincangan banyak orang mulai dari kalangan atas sampai dengan para petani di desa-desa yang jauh dari perkotaan. Sejarah telah membuktikan bahwa keharuman gaharu telah dikenal sejak ratusan tahun yang lalu.

Dilihat dari wujud dan manfaatnya, gaharu memang sangat unik. Gaharu sebenarnya sebuah produk yang berbentuk gumpalan padat berwarna coklat kehitaman sampai hitam dan berbau harum yang terdapat pada bagian kayu atau akar tanaman pohon induk  (misalnya: Aquilaria M.) yang telah mengalami proses perubahan fisika dan kimia akibat terinfeksi oleh sejenis jamur. Oleh sebab itu tidak semua pohon penghasil gaharu mengandung gaharu.

Dari sisi pemanfaatan, gaharu sejak zaman dahulu kala sudah digunakan, baik oleh kalangan bangsawan (kerajaan) hingga masyarakat suku pedalaman di pulau Sumatera dan pulau Kalimantan. Gaharu dengan demikian mempunyai nilai sosial, budaya, dan ekonomi yang cukup tinggi. Secara tradisional gaharu dimanfaatkan antara lain dalam bentuk dupa untuk acara ritual dan keagamaan, pengharum tubuh dan ruangan, bahan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Dan pada Saat ini pemanfaatan gaharu telah berkembang demikian meluas antara lain untuk parfum, aroma terapi, sabun, body lotion, bahan obat-obatan yang memiliki khasiat sebagai anti asmatik, anti mikrobia, dan stimulan kerja syaraf dan pencernaan.

Dengan Meningkatnya perdagangan gaharu sejak 30 tahun terakhir ini, menyebakan timbulnya kelangkaan hasil hutan berupa gubal gaharu dari alam. Berdasarkan informasi, harga gaharu dengan kualitas Super di pasaran nasional Indonesia, yang diketahui Kelompok Tani Gubal Gaharu Indonesia, untuk saat ini telah mencapai Rp 40.000.000,- s/d Rp 50.000.000,- per kilogram dengan kwalitas super, kualitas Tanggung dengan harga rata-rata per kilogram Rp 20.000.000,-, kualitas Kacangan dengan harga rata-rata Rp15.000.000,-, kualitas Teri (Rp 10.000.000,- s/d Rp14.000.000,-), kualitas Kemedangan (Rp 1.000.000,- s/d Rp 4.000.000,-), dan Suloan (Rp75.000,-).

Bertahun-tahun masyarakat dan pemerintah daerah di Indonesia menikmati berkah dari keberadaan gaharu pohon gaharu ini, baik sebagai sumber pendapatan masyarakat maupun penerimaan daerah. Besarnya permintaan pasar, harga jual yang tinggi, dan pola pemanenan yang berlebihan serta perdagangan yang masih mengandalkan pada alam tersebut, maka jenis-jenis tertentu misalnya Aquilaria dan Gyrinops saat ini sudah tergolong langka, dan masuk dalam lampiran Convention on International Trade on Endangered Spcies of Flora and Fauana (Appendix II CITES).

Sejak tahun 1994 Indonesia sudah berkewajiban melindungi pohon penghasil gaharu, namun menurut kenyataan, keberadaan pohon penghasil gaharu tersebut di Indonesia tidak terkecuali di Sumatera dan Kalimantan semakin langka keberadaannya. Selama ini masyarakat hanya tinggal memanen gaharu yang dihasilkan oleh alam. Seringkali masyarakat tidak tahu pasti kapan pohon penghasil gaharu mulai membentuk gaharu dan bagaimana prosesnya. Kelangkaan terjadi karena pohon penghasil gaharu ditebang tanpa memperhatikan ada atau tidak adanya gubal gaharu pada pohon tersebut.

Menurut hasil kajian, departemen kehutanan RI, dari 20 pohon penghasil gaharu yang ditebang di hutan alam hanya ada satu atau sering sama sekali tidak ada yang mengandung gaharu. Kalaupun ada pohon yang mengandung gaharu, maka jumlah gaharu yang ada di pohon tersebut hanya beberapa kilogram saja. Oleh karena itu dapat dibayangkan kalau pencari gaharu mendapatkan gaharu kira-kira 5 kilogram, mungkin puluhan atau bahkan ratusan pohon penghasil gaharu yang harus ditebang. Praktek semacam inilah yang mengakibatkan jumlah pohon pengahasil gaharu di alam semakin menurun dari tahun ke tahun.

Indikasi menurunnya pupulasi pohon penghasil gaharu ditunjukkan oleh kecenderungan produksi gaharu dari Kalimantan dan Sumatera dari tahun ke tahun, di mana realisasi produksi gaharu pada dekade 80’an pernah mencapai ribuan ton dengan kualitas yang tinggi, sedangkan saat ini produksi tersebut merosot drastis hanya kira-kira puluhan ton saja dengan kualitas yang bervariasi.

Guna menghindari agar tumbuhan jenis gaharu di alam tidak punah dan pemanfaatannya dapat lestari maka perlu diupayakan untuk budidaya tanaman pohon gaharu, Namun upaya budidaya tersebut tidak mudah dilaksanakan, dan kalaupun ada usaha konservasi dan budidaya namun skalanya terbatas dan hanya dilakukan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan LSM konservasi. Sementara masyarakat secara luas enggan untuk melakukan budidaya pohon penghasil gaharu karena memang masyarakat luas belum mengetahui peluang emas dengan melakukan budidaya pohon gaharu.

Peluang untuk mengembalikan gaharu menjadi sebuah produk hutan non kayu, menjadi produk andalan kembali terbuka dengan ditemukannya teknologi rekayasa produksi gaharu. Dengan teknologi inokulasi maka produksi gaharu dapat direncanakan dan dipercepat melalui induksi jamur pembentuk gaharu pada pohon penghasil gaharu. Peningkatan produksi gaharu dimaksud (yang kegiatannya terdiri dari kegiatan di bagian hulu sampai hilir) selanjutnya akan berdampak pada peningkatan penerimaan oleh masyarakat petani melalui kelompok tani.

Untuk itu melalui Kelompok Tani “GUBAL GAHARU INDONESIA”  KT-GGI, berusaha untuk menghimpun segenap lapisan masyarakat, dalam program menanam 1.000.000,- pohon gaharu untuk peningkatan ekonomi keluarga di Indonesia agar lebih baik dimasa yang akan datang.

 MARI BERSAMA KT-GGI, KITA SONGSONG MASA DEPAN  YANG LEBIH BAIK.